BAB I
PENDAHULUAN
1.
LATAR
BELAKANG
Etika memang bukanlah bagian dari Ilmu Pengetahuan
(IP). Tetapi Etika lebih merupakan sarana untuk memperoleh orientasi kritis yang
berhadapan dengan moralitas atau perwujudan dalam bentuk perilaku yang baik (Akhlak
mulia). Kendati demikian etika tetaplah berperan penting dalam IP. Penerapan IP
dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari memerlukan adanya dimensi etis
sebagai pertimbangan yang terkadang ikut berpengaruh dalam proses perkembangan
IP selanjutnya.
Dengan begitu tanggung jawab etis,
merupakan hal yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan IP. Dalam hal ini
berarti ilmuwan dalam mengembangkan IP harus memperhatikan kodrat dan martabat
manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab pada kepentingan
umum, dan generasi mendatang, serta bersifat universal karena pada dasarnya IP
adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk
menghancurkan eksistensi manusia dan bukan menjadikan manusia menjadi budak
teknologi dari IP itu sendiri. Keberadaan tanggung jawab etis tidak bermaksud
menghambat kemajuan IP.
Justru dengan adanya dimensi etis yang
mengendalikan, kemajuan IP akan semakin berlomba-lomba meningkatkan martabat
manusia sebagai “tuan” teknologi dan bukan hamba teknologi. Tanggung jawab etis
juga diharapkan mampu menginspirasi, memacu, memobilitasi, dan memotivasi manusia
untuk mengembangkan IP yang tidak mencelakakan manusia serta aman bagi
lingkungan hidup.[1]
2.
RUMUSAN MASALAH
a. Apa pengertian dari etika ?
b. Apa jenis – jenis dari etika ?
c. Bagaimana etika Ilmu Pengetahuan ?
d. Apa yang dimaksud dengan ilmu bebas
nilai dan ilmu tidak bebas nilai ?
e. Bagaimana
Jalan keluar Mengatasi Bebas Nilai dalam Ilmu Pengetahuan ?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
PENGERTIAN
ETIKA
Etika
menurut kamus besar bahasa indonesia adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa
yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Etika berarti moral sedangkan
etiket berarti sopan santun. Dalam bahasa Inggeris dikenal sebagai ethics dan
etiquette. Etika disebut juga filsafat moral adalah cabang filsafat yang
berbicara tentang praxis (tindakan) manusia.
Etika
tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan mempersoalkan bagaimana manusia
harus bertindak. Tindakan manusia ini ditentukan oleh bermacam-macam
norma. Norma ini masih dibagi lagi
menjadi norma hukum, norma moral, noprma agama dan norma sopan santun. Norma
hukum berasal dari hukum dan perundang-undangan,norma agama berasal dari agama
sedangkan norma moral berasal dari suara batin. Norma sopan santun berasal dari
kehidupan sehari-hari sedangkan norma moral berasal dari etika.
2.
JENIS –
JENIS ETIKA
Untuk
menganalisis arti-arti etika, dibedakan menjadi dua jenis etika (Bertens, 2000)[2]:
1. Etika
sebagai Praktis
a. Nilai-nilai
dan norma-norma moral sejauh dipraktekkan atau justru tidak
dipraktekkan
walaupun seharusnya dipraktekkan.
b. Apa
yang dilakukan sejauh sesuai atau tidak sesuai dengan nilai dan norma moral.
2. Etika
sebagai Refleksi
a.
Pemikiran moral berpikir tentang apa yang dilakukan dan khususnya tentang apa yang
harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
Berbicara tentang etika sebagai praksis atau mengambil praksis etis
sebagai objeknya.
c.
Menyoroti dan menilai baik buruknya perilaku orang.
d. Dapat
dijalankan pada taraf populer maupun ilmiah.
3.
ETIKA
KEILMUAN
A. Problema Etika Ilmu
Pengetahuan
Implikasi dari Ilmu Pengetahuan (IP) diperlukan
sebuah ranah etis sebagai pertimbangan dan terkadang mempunyai pengaruh pada proses
perkembangan IP. Makanya tanggung jawab etis, merupakan sarana pendukung atau
hal yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu pengetahuan.
Dengan begitu sebagai manusia harus berpikir kritis,
terbuka dan bijaksana dalam bersikap terhadap IP.
Sebenarnya awalnya teknologi diciptakan untuk
meringankan dan membebaskan manusia dari kesulitan hidupnya. Namun manusia
justru terjebak dalam kondisi konsumerisme yang semakin meningkatkan
ketergantungan manusia akan teknologi dan parahnya, menjadikan manusia budak
teknologi dan menjadikan manusia yang acuh tak acuh atau bersikap
individualitis. Manusia semestinya memajukan IP sesuai dengan nilai
intrinsiknya sebagai pembebas beban kerja manusia. Bila tidak sesuai, maka
teknologi justru akan menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat, karena ada
yang diuntungkan dan ada yang dirugikan. Selain itu, martabat manusia akan
semakin direndahkan dengan menjadi budak teknologi, berbagai penyakit sosial
merebak di masyarakat, hingga pada fenomena dehumanisasi ketika manusia
kehilangan peran dan fungsinya sebagai makhluk spiritual.
Apakah kemajuan IP itu merendahkan atau meningkatkan
keberadaan manusia sangat ditentukan oleh manusia itu sendiri, karena IP
sendiri merupakan salah satu dari 7 cultural universal yang dihasilkan manusia
yang terdiri dari: sistem mata pencaharian, sistem kepercayaan, bahasa, sistem
kemasyarakatan, kesenian, sistem ilmu pengetahuan, dan sistem peralatan hidup.
Oleh karena itu, perkembangan IP haruslah diikuti kedewasaan manusia untuk
mengerti mana yang baik dan yang buruk, mana yang semestinya dan yang tidak
semestinya dilakukan dalam pengembangan IP.[3]
Di sinilah peran
etika untuk ikut mengontrol perkembangan IPTEK agar tidak bertentangan dengan
niilai dan norma dalam masyarakat, serta tidak merugikan manusia sendiri.
Etika, terutama etika keilmuan sangatlah penting dalam kehidupan ilmiah karena
etika keilmuan menyoroti kejujuran, tanggung jawab, serta bebas nilai atau
tidak bebas nilai dalam ilmu pengetahuaan.
B. Ilmu Pengetahuan Bebas
Nilai dan Tidak Bebas Nilai
· Pengertian
Bebas Nilai dalam Ilmu Pengetahuan
Dalam bahasa Inggris bebas nilai disebut dengan
value free, bahwa ilmu dan juga teknologi bersifat otonom (berdiri sendiri)
untuk dikembangkan dengan tidak memperhatikan nilai-nilai atau tujuan lain di
luar Ilmu pengetahuan. Ilmu secara otonom tidak memiliki keterkaitan sama
sekali dengan nilai. Pembatasan-pembatasan etis hanya akan menghalangi
eksplorasi pengembangan ilmu. Bebas nilai berarti semua kegiatan yang terkait
dengan penyelidikan ilmiah harus disandarkan pada hakikat ilmu itu sendiri.
Tuntutan dasarnya adalah agar ilmu pengetahuan dikembangkan hanya demi ilmu
pengetahuan, tidak boleh dikembangkan dengan didasarkan pada pertimbangan lain
diluar ilmu pengetahuan.
Kriteria yang menentukan apakah sebuah kajian
itu ilmiah atau tidak ditentukan oleh bagaimana kemampuan seorang peneliti
dalam memaparkan informasi secara obyektif. Tuntutan dalam prinsip bebas nilai
adalah kegiatan ilmiah yang didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu
sendiri. Artinya, tidak ada campur tangan eksternal di luar struktur obyektif
sebuah pengetahuan. Obyektivitas hanya bisa diraih dengan mengandaikan ilmu
pengetahuan yang bebas nilai (value-neutral).
Dengan begitu berbicara masalah bebas
nilai atau tidaknya ilmu pengetahuan sangatlah relevan dengan apa yang terjadi
di zaman Renaissance, yang terkenal dengan paham Aufklarung yang mendewakan
rasionalitas manusia. Pada zaman kegelapan (Dark Age), gereja senantiasa
mengatur dan mengendalikan kaum cendekiawan sehingga mereka merasa sangat
terkekang. Setiap teori atau penemuan-penemuan baru hanya dapat dipergunakan
dengan persetujuan dan pengakuan gereja. Sejak saat itulah para cendekiawan
Barat beranggapan bahwa nilai dan norma hanya menghambat kemajuan IP. Pemahaman
rasional tentang dirinya dan alam mengantar manusia pada suatu pragmatisme
ilmiah, dimana perkembangan ilmu dianggap berhasil ketika memiliki
konsekuensi-konsekuensi pragmatis. Keadaan ini pula yang menggiring ilmuwan
untuk menjaga jarak terhadap problem nilai secara langsung.
Menurut Josep Situmorang (1996)
menyatakan bahwa bebas nilai artinya tuntutan terhadap setiap kegiatan ilmiah
agar didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri.[4]
Untuk menentukan bahwa ilmu itu bebas
nilai atau tidak, maka diperlukan sekurang-kurangnya 3 faktor sebagai
indikator. Pertama, ilmu tersebut harus bebas dari pengandaian dan pengaruh
faktor eksternal seperti politik, ideologi, agama, budaya, dll. Kedua, perlunya
kebebasan usaha ilmiah demi terjaminnya otonomi ilmu pengetahuan.Ketiga, tidak
luputnya penelitian ilmiah dari pertimbangan etis yang selalu dituding menghambat
kemajuan ilmu pengetahuan. Indikator pertama dan kedua memperlihatkan upaya
ilmuwan untuk menjaga objektivitas ilmiah ilmu pengetahuan, sedangkan indikator
ketiga ingin menunjukkan adanya faktor X yang hampir mustahil dihindarkan dari
perkembangan ilmu pengetahuan, yaitu pertimbangan etis.[5]
Selain 3 indikator tadi, masih ada
indikator keempat yang amat sulit ditolak oleh ilmu pengetahuan, yakni
kekuasaan. Perkembangan IP selalu sarat dengan berbagai kepentingan, terutama
kepentingan kekuasaan yang kadang memunculkan konflik kepentingan antara
ilmuwan dengan truth claim melawan penguasa dengan authority claimnya. Dan di
negara berkembang, konflik itu hampir selalu dimenangkan pihak penguasa.
Ilmu sendiri, baik secara teoritis
maupun praktis tidak pernah bebas dari nilai. Selalu ada kepentingan yang
bermain di dalam ilmu itu. Namun, pertimbangan etis semestinya hanya berperan
sebagai rambu-rambu saja, dan bukannya mengekang perkembangan IP tersebut.
Kesalahan Barat adalah mereka menganggap bahwa ilmu selalu bebas nilai dan
sudah semestinya ilmu pengetahuan tidak berhubungan dengan agama (sekularisme).
Akan tetapi, intervensi nilai yang berlebihan ke dalam ilmu pengetahuan juga
akan mengekang kreativitas manusia dalam berpikir. Ilmu pengetahuan semata-mata
hanya menjadi alat dari berbagai macam kepentingan, terutama kepentingan
ideologis dan politik.
Karena IP tidaklah bebas nilai, maka
sudah sewajarnya kita mengkuti perkembangannya, asalkan jangan sampai kita
terjebak rasa ketergantungan pada teknologi. Teknologi hanyalah alat untuk
membantu meringankan beban kerja kita sehingga jangan sampai justru kita
menjadi malas dan diperbudak teknologi. Dalam perkembangan teknologi komunikasi
dan komunikasi kontemporer sendiri, sudah begitu banyak media yang dikembangkan
untuk memperlancar komunikasi dan memperpendek jarak antar manusia. Sebut saja
komputer, jaringan telepon selular yang dibantu adanya satelit komunikasi,
serta internet yang mengusung Super Highway Communication dengan electronic
mail. Selain itu, telepon selular di beberapa negara pun sudah dilengkapi
fasilitas 3G atau bahkan 4G yang memungkinkan manusia mengakses data dalam
waktu yang amat singkat.
Berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi telah mengantar kita pada kemudahan-kemudahan untuk mengerjakan
pekerjaan sehari-hari baik di rumah, sekolah, maupun kantor. Namun, jangan
sampai justru dengan segala fasilitas itu kita menjadi diperbudak oleh alat.
Kita adalah manusia yang bisa berpikir dan menciptakan berbagai macam
peralatan. Oleh karena itu hendaknya kita menciptakan teknologi sesuai dengan
keadaan dan kebutuhan manusia, bukannya membuat manusia harus menyesuaikan diri
dengan teknologi.
C. Jalan keluar Mengatasi Bebas Nilai dalam
Ilmu Pengetahuan
Disini kita akan mempelajari cara mengatasi
ilmu bebas nilai dalam ilmu pengetahuan, sebenarnya Filsafat
sebagai “phylosophy of life” mempelajari nilai-nilai yang ada dalam
kehidupan dan berfungsi sebagai pengontrol terhadap keilmuan manusia dan
sebagai pengendalian manusia. Teori nilai berfungsi mirip dengan agama
yang menjadi pedoman kehidupan manusia.
Dalam teori nilai terkandung tujuan bagaimana manusia mengalami kehidupan dan
memberi makna terhadap kehidupan ini.
Nilai, bukan sesuatu yang tidak eksis, sesuatu
yang sungguh-sungguh berupa kenyataan, bersembunyi dibalik kenyataan yang
tampak, tidak tergantung pada kenyataan- kenyataan lain, mutlak dan tidak pernah mengalami
perubahan. Netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik
keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya kegiatan keilmuan haruslah berlandaskan
pada asas-asas moral agar tidak terjadi sesuatu yang tidak inginkan.
Ilmu secara moral harus ditujukan untuk
kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan
(Eksistensi Manusia), dengan pertimbangan; (1) ilmu secara faktual telah
dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang dibuktikan dengan adanya dua
perang dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi keilmuan; (2) ilmu telah
berkembang dengan pesat dan makin esoterik sehingga kaum ilmuwan lebih
mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi salah
penggunaan; dan (3) ilmu telah berkembang sedemikian rupa sehingga terdapat
kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling
hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perubahan sosial.
Jalan keluar dari Bebas Nilai dalam ilmu
pengetahuan dapat ditelusuri dengan dua cara berikut :
a. Context of Discovery
Menyangkut konteks dimana ilmu pengetahuan
ditemukan. Bahwa ilmu pengetahuan tidak terjadi, ditemukan, dan berlangsung
dalam kevakuman (kekosongan). Ilmu pengetahuan selalu ditemukan dan berkembang
dalam konteks ruang dan waktu tertentu. Jadi ilmu pengetahuan tidak muncul
secara mendadak begitu saja. Ada konteks tertentu yang melahirkannya. Dan tidak
dapat dipungkiri bahwa ilmu pengetahuan berkembang dalam konteks tertentu yang
sekaligus sangat mempengaruhi nilai obyektifnya dan sejauh mana ia dapat
mengungkapkan realitas (kebenaran).
Dengan begitu pada intinya ilmu pengetahuan
lahir dikarenakan ada sebab sebab tertentu, mulai berawal dari pengalaman lalu
terjadi sebab lalu dikembangkan menjadi sesuatu yang bernilai.
Dengan
contoh sepeda yang dulunya tidak ada mensin nya sekarang menjadi ada mesin nya berawal dari kreativitas
manusia dengan pandai mengembangkan sesuatu.
b.
Context of Justification.
Menyangkut konteks dimana kegiatan ilmiah dan
hasil-hasilnya diuji berdasarkan kategori dan kriteria yang murni ilmiah.
Kegiatan ilmiah dan hasil-hasilnya diuji berdasarkan kategori dan kriteria yang
murni ilmiah. Di mana yang berbicara adalah data dan fakta apa adanya serta
keabsahan metode ilmiah yang dipakai tanpa mempertimbangkan kriteria dan
pertimbangan lain di luar itu. Jadi, satu-satunya yang dipertimbangkan adalah
bukti empiris dan penalaran logis – rasional dalam membuktikan kebenaran suatu
hipotesis atau teori, semua faktor ekstra ilmiah harus ditinggalkan dan yang
diperhitungkan adalah bukti empiris dan penalaran logis-rasional. Satu-satunya
nilai yang berlaku dan diperhitungkan adalah nilai kebenaran pada hal-hal yang
dapat dibuktikan melalui observasi ilmiah.
Dari sintesis ini dapat dipahami bahwa dalam
context of discovery ilmu pengetahuan tidak bebas nilai, tetapi dalam context
of justification, ilmu pengetahuan harus bebas nilai. Dalam context of
discovery ilmu pengetahuan mau tidak mau peduli akan berbagai nilai lain di
luar ilmu pengetahuan. Namun, dalam context of justification, satu-satunya yang
menentukan adalah benar tidaknya hipotesis atau teori itu berdasarkan
bukti-bukti empiris dan penalaran logis yang bisa ditunjukkan.
Lalu, apakah perdebatan tentang masalah ‘bebas
nilai’ dalam ilmu pengetahuan itu tetap relevan untuk dibicarakan? Jawabannya
adalah masih. Jawaban ini tentu disertai oleh alasan yang mendukung. Alasan
pertama adalah, tuntutan ‘bebas nilai’ dalam ilmu pengetahuan memiliki tujuan
yang harus senantiasa dijaga dan dijunjung dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Dengan itu ilmu pengetahuan tetap otonom dan murni ilmiah. Harapannya, ilmu
pengetahuan tidak serta merta bisa dijadikan alat bagi pihak tertentu yang
ingin melegitimasikan otoritas demi kepentingannya semata. Kedua, perdebatan
tentang ‘bebas nilai’ dalam ilmu pengetahuan itu perlu dilihat sebagai upaya
check and balances, yang bisa ditinjau dengan sintesis context of discovery
maupun context of justification. Hal ini dimaksudkan untuk menggugah kesadaran
ilmuwan agar tidak sekedar mengembangkan ilmu pengetahuan yang bersifat
destruktif, tetapi juga tetap memerhatikan aspek utiliter ilmu pengetahuan itu
sendiri. Hal tersebut tidak dimaksudkan untuk membatasi otonomi ilmu
pengetahuan, hanya untuk menegaskan bahwa kebenaran memang harus diwujudkan,
tapi apakah perlu, tentunya itu dikembalikan kepada para ilmuwan sendiri.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Etika memang
bukanlah bagian dari Ilmu Pengetahuan (IP). Etika lebih merupakan sarana untuk
memperoleh orientasi kritis yang berhadapan dengan moralitas atau perwujudan
dalam bentuk perilaku yang baik (Akhlak mulia). Kendati demikian etika tetaplah
berperan penting dalam IP. Penerapan IP dalam kehidupan bermasyarakat
sehari-hari memerlukan adanya dimensi etis sebagai pertimbangan yang terkadang
ikut berpengaruh dalam proses perkembangan IP selanjutnya.
Dengan begitu
tanggung jawab etis, merupakan hal yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan
IP. Dalam hal ini berarti ilmuwan dalam mengembangkan IP harus memperhatikan
kodrat dan martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab
pada kepentingan umum, dan generasi mendatang, serta bersifat universal karena
pada dasarnya IP adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia
bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia dan bukan menjadikan manusia
menjadi budak teknologi dari IP itu sendiri. Keberadaan tanggung jawab etis
tidak bermaksud menghambat kemajuan IP.
Justru dengan adanya
dimensi etis yang mengendalikan, kemajuan IP akan semakin berlomba-lomba
meningkatkan martabat manusia sebagai “tuan” teknologi dan bukan hamba
teknologi. Tanggung jawab etis juga diharapkan mampu menginspirasi, memacu,
memobilitasi, dan memotivasi manusia untuk mengembangkan IP yang tidak
mencelakakan manusia serta aman bagi lingkungan hidup.
DAFTAR PUSTAKA
Situmorang,
Joseph, MMT, 1996, “Ilmu Pengetahuan dan Nilai”, dalam Majalah Filsafat
DRIYARKARA, Th.XXII No.4, Jakarta
Van
Melsen, Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita, Diterjemahkan oleh : Bertens,
Grademia, Jakarta
Charis
Zubair, Achmad, 1987, Kuliah Etika. Jakarta : Rajawali Pers.
Mustansyir,
Rizal dan Misnal Munir, 2001. Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bertens,
K. 1975. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta : Yayasan Kanisius. 1998.
Ringkasan Sejarah Filsafat. Cet : Keenam. Yogyakarta : Kanisius.
Drs,
Surajiyo, 2012, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta : PT Bumi Aksara Cetakan
Kelima.
diakses
tanggal : 05 maret 2015 Jam 11:56.
[1] http://imadiklus.com/filsafat-ilmu-etika-dalam-pengembangan-ilmu/
diakses tanggal : 05 maret 2015 Jam
11:56.
[2] Bertens, K. Sejarah Filsafat
Yunani. Yogyakarta : Yayasan Kanisius. 1998. Ringkasan Sejarah Filsafat. Cet :
Keenam. Yogyakarta : Kanisius.
[3] http://imadiklus.com/filsafat-ilmu-etika-dalam-pengembangan-ilmu/diakses
tanggal : 05 maret 2015
Pada Jam 11:56.
Pada Jam 11:56.
[4] Drs, Surajiyo, 2012, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta : PT Bumi
Aksara Cetakan Kelima.
[5] Ibid Hal 84
The TOTO® Gold Wedding Ring for the American Wedding
BalasHapusCustom titanium pots and pans ring rings for the American Wedding. A unique gold wedding ring for the American titanium dab nail wedding. Custom where can i buy titanium trim ring for the ford escape titanium 2021 American titanium max wedding.
u684l4sdclf988 wolf dildo,sex chair,Rabbit Vibrators,fantasy toys,dildo,sex toys,glass dildos,women sexy toys,vibrators l483z8rxbqs325
BalasHapusp068v2wpcne359 dildos,dildo,wholesale sex toys,vibrators,Male Masturbators,horse dildo,sex toys,Panty Vibrators,Discreet Vibrators x689j2cmioz762
BalasHapusw761p6lmmlm719 www.fakebags2023.ru q119i4ssrxu289
BalasHapus