Blogger templates

Home » » Kemenangan Hati

Kemenangan Hati

Written By Unknown on Selasa, 26 Februari 2013 | 15.55


Hari ini tepat sepuluh hari terakhir di bulan ramadhan. Entah Aku berlebihan atau bagaimana tetapi suasana bertambah ramai. Mobil-mobil plat B dan lainnya mulai memenuhi kota kecilku ini. Ya. Mungkin orang-orang sudah mulai mudik lebih awal atau mungkin momen lebaran sudah menjadi adat nasional untuk pulang kampung. Lebaran?, aku tersenyum. Apakah lebaranku spesial tahun ini, atau hanya seperti tahun-tahun yang lalu. Monoton. Aku kembali melamun, kukoreksi hidupku. Aku hanyalah anak dari seorang ayah pengasuh TPA dan ibu penjual baju. Pendapatan kami hanya diambang cukup, aku tidak pernah berani menggunakan uang untuk hal yang remeh, masih ada aku dan adikku yang harus bersekolah. Lalu apanya yang spesial?. Tidak ada pikirku. Sepersekian detik kemudian lamunanku dibuyarkan oleh sepedaku yang oleng dan hampir menabrak orang di depanku. “Astaghfirullahal’adzim”, cepat-cepat kuusir pikiranku ini, tentu saja lebaran selalu spesial. Allah menegurku. Seperti terbius kata-kata graffiti disebagian tembok-tembok di Klaten, “Bike to Future”, begitu instannya aku berniat bersepeda ke sekolah. Kupikir seniman-seniman yang membuat itu perlu diberi sebuah penghargaan karena berhasil menyadarkan orang keras kepala sepertiku. Instannya pula niat itu terwujud dan aku mendapati diriku sedang bersepeda sekarang. Padahal jarak dari rumah ke sekolahku relatif jauh.Tetapi hal ini tidak menyurutkan semangatku untuk bersekolah. Karena hidup adalah pilihan dan aku memilih jalan ini untuk menimba ilmu. Masuk di gang desa, kubiarkan pikiranku menerawang ke mana-mana. Aku tidak memiliki teman di desa. Untuk sekarang ini hidup matiku di sekolah, terletak jauh di kota. Aku jarang berkomunikasi dengan orang-orang di desaku ini. Selain sibuk dengan kegiatanku di sekolah, banyak luka yang ditimbulkan oleh mereka di masa lalu. Aku bukan orang pendendam akan tetapi, sulit melupakannya walaupun sudah 6 tahun lamanya. Selama 6 tahun itu pun, aku mencari kehidupan sosialku di kota, yang aku pikir lebih baik apa-apanya ketimbang di desaku ini. Apa aku salah? Aku pun tak tahu, tak ada yang menegurku karena orang-orang begitu sibuk dengan urusannya masing-masing. Teleponku bergetar dan aku tak mungkin melihat pemberitahuan apa, karena aku sedang bersepeda. Hal ini mengingatkanku tentang pesan dari Nurul, salah seorang teman di desaku. Aku sangat kaget bahwa dia mengirimiku pesan yang berisi tawaran untuk menjadi anggota grup pawai takbir untuk lomba. Aku lebih kaget lagi bahwa ternyata aku memiliki nomor teleponnya. Telepon yang bergetar itu mengingatkanku bahwa aku belum menyisihkan waktu untuk memikirkan tawaran itu. Aku mulai berpikir lagi, agaknya hari ini aku terlalu banyak berpikir. Modus apa Nurul tiba-tiba memintaku untuk menjadi anggota pawai, mengapa harus aku?. Aku hanya tidak ingin hatiku sakit lagi dibuatnya. Aku tak tahu, tapi bagiku yang hitam di masa lalu tidak akan bisa menjadi putih lagi. Lima menit kemudian aku sampai di rumah, udara masih sangat panas. Setelah memberi salam, aku sandarkan tubuhku di kursi teras. Kugapai teleponku dan aku mulai menggerakkan otot-otot mataku untuk bergerak ke kanan dan ke kiri tentu saja untuk membaca pesannya. Benar saja. Pesan itu dari Nurul, memintaku untuk mengikuti latihan sore ini di lapangan tenis. “Aduh”, reflek aku berkata seperti itu. Karena bahkan aku belum berpikir untuk menerima tawaran itu atau tidak. Aku memutar otak untuk mencari alasan agar aku tidak berangkat ke lapangan tenis sore ini. Sebelum mendapatkan alasan yang tepat, ibuku menghampiriku dan mengatakan sore ini aku harus mengantar parsel ke rumah nenek. Sontak aku berkata “Alhamdulilah”, lalu aku diam dan merenung, apakah aku pantas berkata Alhamdulillah untuk hal ini. Lalu, secepatnya aku balas pesan Nurul bahwa aku tidak bisa mengikuti latihan karena harus ke rumah nenek mengantarkan parsel. Aku menunggu, 3 menit teleponku tidak bergeming, 10 menit akhirnya bergetar. Sial, ternyata pemberitahuan baterai, 20 menit tidak ada perubahan apa-apa kecuali lampunya yang berkedip-kedip meminta makan. Kuputuskan bahwa pesanku tidak dibalas. Siang menjelang sore, aku mulai was-was karena sudah mendekati pukul latihan tetapi parsel belum ada untuk diantar. “Sekarang sudah setengah empat, hal apa yang membuat parsel ini begitu lama?”, gumamku. Aku masih berbaring ditempat tidur untuk sejenak menyelaraskan otakku. Aku menerawang, kemudian aku cepat berkemas serta merta pergi. Terlelap. Sungguh nikmat sekali tidur itu. Dibelai oleh hembusan kipas angin yang tidak henti-hentinya memutar udara disekelilingku menjadi angin yang segar. Tiba-tiba aku merasa gerah, tapi enggan untuk bangun. Lama-kelamaan aku mulai berkeringat, dan hal ini efektif untuk membangunkanku dari nyaris tidurku. Aku bangun dan memeriksa keadaan sekeliling, ternyata kipas anginku mati. Kulihat papan tombolnya masih hidup. Aku cepat berpikir kuantitas pemakaian listrik lebih dari seharusnya, sehingga saklar utamanya diposisi nol. Enggan sekali aku merangkak ke teras untuk membenahi saklarnya. Ketika aku sampai di saklar utama, aku kembali dikagetkan dengan suara seseorang yang lama tidak kudengar memanggil namaku. Orang itu agak gemuk, berkerudung tetapi rapi. Tatapan matanya sungguh sangat tajam, orang-orang bisa mengenalinya hanya dengan suaranya saja. Begitulah Nurul, sejak kejadian itu aku sudah jarang sekali bertemu dengannya. Kulihat sudah banyak yang berubah dari parasnya. Terlihat lebih cantik dan lebih lembut, untuk kesan pertama. “Nisa”, katanya sedikit nyaring. “Eh, Nurul ada apa?”, tanyaku retoris. Mengapa orang ini ngotot sekali untuk mengajakku, ditambah dia sekarang berada diluar pagar rumahku bersama Kak Ratna. Batinku bermonolog tidak karuan. Hal yang masih tidak bisa kupahami adalah mengapa bisa orang sebauk Kak ratna bersahabat dengan Nurul. “Ayo latihan”, jawabnya santai. Aku memutar otak mencari alasan untuk menjawabnya. “ Tapi, aku harus ke rumah nenek hari ini.”, jawabku lirih. “Lah kata adikmu siang tadi sudah ke sana, aku ketemu Haqi dimasjid, terus dia ngomong seperti itu”, sanggahnya dengan wajah penuh tanya. “Iya ini mau ke sana lagi..”, jawabku singkat. “Hmm gimana ya ini, gini deh kamu ikut latihan yang besok habis shubuh saja ya”, sela Kak Ratna. Kupikir taktik yang digunakan Nurul untuk membawa Kak Ratna ke rumahku sore ini sangat baik, sehingga aku mau tidak mau harus menyanggupinya. Ya. Karena Kak Ratna selama ini sangat baik padaku. Sebelum aku sempat menjawab, Nurul kembali berbicara lagi, “Kita udah nggantungin kamu lho Nis, soalnya anggota kita kurang satu”. “Besok ya, ingat habis shubuh”, sahut kak Ratna. Aduh, dua orang ini kompak sekali. Ditambah aku menghadapi mereka dengan keadaan separuh nyawa. Sebelum sempat aku menjawab lagi, mereka berdua terihat akan mengayuh sepedanya. “Ya udah ya, sampai jumpa besok”, kata Kak Ratna. “Eiih, tunggu dulu, siapa saja memang?”, sahutku dengan kata-kata yang paling cepat kudapatkan. “Udah deh, besok juga tahu sendiri”, kata Nurul penuh senyum kemenangan. Tidak ada gunanya juga untuk mendebat Nurul hari ini, dia pendebat yang sangat ulung. Sungguh tidak enak rasanya berada dalam posisi seperti ini, menerima tanpa alasan. Sore itu, aku habiskan dengan perasaan yang tidak menentu. Antara segan dan merasa tidak enak hati. Begitu cepat waktu di ramadhan ini berlalu, kurasa baru sejam yang lalu Nurul dan Kak Ratna ke rumahku untuk mengajakku berlatih. Jam dinding menunjukkan pukul empat pagi, tentu saja aku gugup untuk datang dilatihan pagi ini. Aku merasa diantara canggung dan enggan. “Ya Allah bantulah aku”, kupanjatkan do’a kepa Yang Kuasa agar aku tenang dan selalu dalam lindungannya. Terdengar suara adzan, aku segera bersiap-siap untuk sholat shubuh. Setelah sholat shubuh dan dengan pakaian muslim training lengkap dengan jaket yang lumayan tebal. Karena aku berpikir akan sangat dingin diluar sana. Aku siap untuk pergi berlatih tapi hatiku yang tidak siap. Jujur saja, aku tidak ingin bertemu dengan orang-orang itu lagi. Semoga saja dugaanku salah bahwa aku akan kembali bersua dengan mereka. Tapi itu rasanya tidak mungkin. Jelas saja, siapa lagi kalau bukan mereka. Tidak ada orang lain yang dapat menjadi pilihan. Ataukah aku seorang pengecut, tidak ingin bertemu dengan seseorang, hanya karena kejadian yang telah lalu. Aku menegaskan bahwa aku bukan seorang pengecut dan kumantapkan langkahku untuk berlatih. Pada akhirnya mengapa juga aku langkahkan kakiku dengan gontai, ini semua karena pikiranku masih berputar-putar mengenang masa lalu. Sepuluh langkah kemudian, aku sudah sampai dilapangan tenis. Aku menghela napas dalam-dalam, mencoba untuk bersikap tenang. Kubuka pintu lapangan tenis dan kudapati aku salah satu dari tiga orang setelah Rizal dan seorang anak kecil di lapangan tenis pagi ini. Tentu saja aku kesal di dalam hati, mengapa aku yang harus datang lebih awal dan bersikap menyambut semuanya nanti. Aku diam terpaku di tengah pintu. “Assalamu’alaykum”, kata Rizal. “Wa’alaykummussalam”, jawabku gagu.”Apa di kota udah nggak ada budaya saling mengucapkan salam apa?”, Tanya Rizal yang membuatku diam seribu bahasa. Padahal sungguh retoris sekali, dia satu sekolah denganku. “Hmm maaf aku baru speechless”, jawabku seadanya. “Haha, apa-apaan kau ini, tapi sebelumnya aku heran, apa yang membuatmu datang ke sini?”, tanya Rizal. ‘Hah apa, berarti keputusan untuk mengambilku sebagai penggenap merupakan keputusan sepihak karena ketuanya pun tidak tahu’, batinku bergejolak. “Emm yang jelas aku tak mau jadi tukang sapu di sini”, jawabku sambil melirik keadaan lapangan tenis yang bisa dikata, kotor. “Mana ada orang yang mau menjadikanmu tukang sapu, terlalu lama untuk menyapu lapangan ini”, jawab Rizal mencoba menghargai candaanku. “Sok tahu”, jawabku singkat. “Hahaha, gimana kabarmu?”. “Hmm, kayak aku udah pergi dari kota ini aja pertanyaanmu itu, masih suka sama SLR?”, tanyaku balik. “Lha ini aku bawa, perlu kupinjami kaca mata apa?, hmm nggak pernah kelihatan sih, semedi terus di rumah”, katanya sambil tertawa. “Nggak makasih, nggak gitu juga”, jawabku singkat. Terjadi keheningan selama beberapa detik kemudian aku berkata lagi, “Jadi siapa saja yang bakal ikut?”. Tanpa berkata apa pun dia menyodorkan kertas yang bertuliskan daftar nama perserta pawai takbir untuk desaku. “Aku mau nunggu diluar aja ya Nis, ati-ati ilang lho”, katanya dengan langsung meninggalkanku sendiri di lapangan tenis ini. Aku duduk disalah satu kursi lapangan yang paling dekat dengan pintu masuk. Kupikir kalau ada gempa aku dengan begitu mudahnya menyelamatkan diri. Aku duduk, merapatkan kancing jaketku dan mulai membuka kertas. Aku tidak berani membukanya secara langsung, karena aku tahu bahwa nama-nama yang tertulis akan memberikan kenangan satu persatu, yang mungkin saja akan membuatku mengurungkan niat untuk mengikuti pawai takbir ini. Kubaca empat nama pertama yaitu : Zahra, Alya, Nurul, dan Siti. Aku mendengus, dan dalam waktu bersamaan, aku juga sedih. Aku masih ingat betul. Waktu itu, aku, Nurul dan Siti duduk di kelas empat. Sedangkan Zahra dan Alya adalah adik kelasku. Aku orang baru di sini. Ya. Keluargaku baru pindah ke sini ketika awal kelas empat Sekolah Dasar. Alasan keluargaku pindah adalah agar kami mendapat kehidupan yang lebih baik di sini. Keadaan masih sama, tapi dulu keluargaku sangat kekurangan. Sampai sekarang pun aku tak dapat menyimpulkan mengapa kedua orang tuaku memilih desa ini sebagai tujuan, padahal mayoritas di desaku ini adalah tempat orang-orang kaya. Apabila dibandingkan dengan keluargaku yang ekonominya garis kecukupan pun tidak menembus, aku malu. Kupikir aku sulit beradaptasi di sini. Karena, perbedaan status yang sangat jelas. Anak-anak yang sebaya denganku banyak, banyak dari mereka pun sudah lewat depan rumahku untuk melihat orang baru, yaitu keluargaku. Ketika lewat depan rumahku, mereka hanya tertawa kecil sambil mengayuh sepeda mereka yang keren-keren. Akan tetapi, berhari-hari aku tidak mau melakukan apa-apa, makan pun tidak mau. Ayahku paham apa yang kupikirkan. Sungguh sesuatu yang sangat ajaib, saat itu malam hujan dan ayahku membawa pulang sebuah sepeda. “Ini untukmu, jangan rusak ya”, kata Ayahku. Aku masih diam. Lalu aku merasa tenggorokanku menjadi berat. Aku tak akan menangis di depan Ayah, karena perjuangannya sudah begitu berat. Aku senang sekaligus bingung memikirkan dari mana Ayahku mendapatkan uang untuk membelikanku sebuah sepeda. Mulai saat itu, aku berjanji akan merawat sepeda ini dengan baik dan aku bersumpah tidak akan mengecewakan Ayah seumur hidupnya. Aku menjawab Ayah, dengan hanya mengangguk dan tak berani menatap matanya. Sore hari keesokannya, langsung aku gunakan sepeda itu untuk berputar mengelilingi desa. Anak-anak yang sebaya denganku melihatku dengan antusias, mereka bingung karena belum pernah bertemu denganku. Langsung saja banyak diantara mereka mengambil sepedanya dan ikut denganku. Waktu itu, aku belum mengenal Zahra dan Nurul. Akan tetapi Siti dan Alya sudah ikut dalam barisanku untuk bersepeda berkeliling desa. Aku adalah orang yang sangat ramah waktu kecil, sehingga tidak perlu banyak waktu pun aku sudah mempunyai banyak teman dari berbagai kalangan di desaku. Aku pun telah memiliki teman yang setiap hari bermain di rumahku yaitu : Riri, Nita dan Ayu. Mereka tidak segan untuk bermain di rumahku yang sangat kecil dan sempit, serta anak-anak yang lain pun sering main ke rumahku walaupun mereka orang kaya dan aku miskin. Keajaiban sepeda pemberian Ayah. Sampai pada Minggu pagi saat itu, Siti dan Alya mengajakku bersepeda. Kami bercanda seperti biasanya. Akan tetapi aku heran mengapa tujuannya ke rumah Siti. Di rumah Siti sudah ada Zahra dan Nurul. Suasananya begitu aneh hari itu, dingin. Sampai di rumah Siti tidak ada kegembiraan yang terdengar. Sesampainya di depan teras, aku meletakkan sepedaku dan aku mencoba bergabung bersama mereka. Tiba-tiba ada seseorang yang menggertakku. “Heh Nisa sini kamu!”, kata Nurul. “Hei ada apa sih?, jawabku polos. Sedetik kemudian aku sudah dikelilingi oleh empat anak itu. Mereka berjalan mengelilingiku seperti aku adalah seorang tawanan yang bersalah. “Ngerti nggak kamu salah apa!”, bentak Siti. Aku mulai bertanya-tanya, sebenarnya apa salahku hingga orang yang lebih muda dariku berani membentakku. “Emangnya aku salah apa?”, jawabku tidak tahu. “Kamu itu orang baru di sini, jangan sok belagu deh”, timpal Zahra. “ Jangan piker dengan sepeda butut kayak gini kamu bisa jadi ratu di sini”, timpalnya lagi. Aku diam. Sungguh yang perama dalam hidupku aku diperlakukan seperti ini. Aku tidak bisa menjawab apa-apa, aku hanya menangis. Tak kusangka-sangka mereka berempat berjalan menuju sepedaku dan menjatuhkannya, lalu dengan kejamnya mereka menginjak-injak sepedaku sehingga keranjang depanku sudah tidak berbentuk, lalu sempat kulihat remnya sudah tidak berada pada tempatnya. Aku menangis, kali ini dengan keras. Aku menghampiri sepedaku dan menangis kembali. “Udah tu rasain”, kata Siti. Aku terduduk dan menangis dan mereka terus mengata-ngataiku tapi tidak aku gubris selebihnya karena pikiranku sekarang penuh dengan kesedihan yang luar biasa. Aku telah melanggar sumpahku untuk tidak mengecewakan Ayah, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku tak ingin melawan, karena ada hal yang lebih penting aku lakukan yaitu menyelamatkan kepercayaan Ayah dan sumpahku daripada mendengarkan ocehan mereka. Aku terduduk disamping sepedaku dan menangis keras. Tiba-tiba ada tiga orang yang belum aku kenal datang. Orang dengan rambut agak sedikit ikal dan kulitnya hitam membantuku berdiri. Aku tak bisa berdiri, kakiku sudah terlalu lemah untuk berdiri. Orang yang berbaju oranye dan membawa kamera menyentuh sepedaku dan membuatnya berdiri. Lalu yang terakhir orang yang suaranya keras dengan kaos merah menyala berteriak kepada Zahra, Siti, Alya, dan Nurul. “Kalian itu jahat banget, dia kan nggak salah apa-apa, kenapa kalian rusak sepedanya, kasihan dia?”, katanya dengan nada yang tinggi. Lalu mereka berempat terdiam. Aku dan tiga orang itu pergi dan mereka mencoba membuatku diam. Tapi hasilnya nihil. “Terus gimana ini?”, kata yang berbaju oranye dan membawa kamera. “Ke rumah Kak Ratna aja dulu”, jawab orang yang tadi membentak-bentak. Semenit kemudian aku sudah berada di rumah Kak Ratna, begitu ketiga orang ini bilang. Aku masih menangis kencang, dan baru menyadari bahwa sepedaku telah dibenarkan oleh orang yang aku asumsikan sebagai pemilik rumah ini. Lalu, Kak Ratna datang dan berkenalan denganku, serta menyuruhku untuk diam serta memberikanku dan tiga orang penuh misteri ini minum. Aku masih terisak ketika ketiga orang itu mengajakku berkenalan. Rizal adalah orang yang memakai baju oranye dan membawa kamera. Wisnu adalah orang yang menyuruhku diam menangis. Lalu, Danang adalah orang yang membentak-bentak. Mereka sebaya denganku. Sedangkan, Kak Ratna 4 tingkat di atasku. Akhirnya aku berhasil diam dan masih menatap sepedaku.”Kamu nggak apa-apa kan dek?”, Tanya Kak Ratna lembut. “Nggak apa-apa, tapi sepedaku apa-apa..”, jawabku seadanya. Tak kusangka aku membuat mereka semua tertawa. “Hei lihat itu wajahmu, jelek banget”, kata Danang. Aku langsung meliriknya tajam. “Danang!”, tegur kak Ratna. “Udah nggak apa-apa nanti sepedanya biar dibenerin Bapakku, kan Bapakku bengkel, sekarang nggak boleh nangis, hmm keterlaluan banget sih itu anak-anak, biar nanti kakak yang urus deh.”, kata Kak Ratna. Aku sekarang diam, tetapi masih kecewa dan mengutuk diriku sendiri. Walaupun aku sekarang sedang menyeruput es tehku takut kalau Danang mengambil es tehku.”Makasih Kak”, kataku singkat. Karena aku marah pada diriku sendiri karena tidak bisa menjaga sepedaku ini dengan baik. Akhirnya aku pulang, dan tak kusangka esok harinya di depan rumahku sudah ada Siti dan Alya, mereka mengajak bersalaman dengan kasar. Mereka daatang dengan Kak Ratna. Aku menyalaminya. Tetapi, Aku biarkan saja mereka, aku akan bermain dengan teman yang lain saja, kesimpulanku pada saat itu. Aku mulai heran mengapa Nita, Ayu dan Riri sudah tidak bermain ke rumahku. Benar saja. Ternyata mereka juga diancam tidak boleh bermain denganku. Sejak saat itu aku tidak pernah bermain keluar rumah dan aku hanya kadang-kadang bermain dengan ketiga laki-laki yang menolongku. Itu pun karena mereka hanya iseng lewat di depan rumahku. Hari-hari aku lalui dengan jarang keluar rumah hingga aku lulus Sekolah Dasar. Entah dari mana tetapi Ayahku selalu tahu apa yang terjadi denganku dan Ayah menyuruhku untuk bersekolah di kota. Aku menghentikan lamunanku ketika teleponku bergetar dan aku mendapatkan satu pesan. Pesan itu dari Nurul, katanya segera ke lapangan tenis. Aku kesal, karena ternyata aku di sini sudah hampir setengah jam. Aku keluar dari lapangan tenis dan kulihat bahwa trio penyelamat sudah lengkap. Ada Wisnu, Rizal, dan juga Danang. Orang yang pertama menyapaku adalah Rizal. “Ada Tuan Putri yang udah bangun dari semedinya lho, sekarang mau ikut kegiatan”, ujar Rizal. Kami tertawa kecuali Danang. “Nggak kerasa udah 6 tahun ya, waktu yang dulu kamu nangis itu”, kata Wisnu. “Haha, apaan sih Wis”, jawabku. “Tapi tetap saja, dia orang yang keras, dan masih keras hati”, Danang akhirnya bicara juga tapi dengan nada yang aku tidak suka. Setelah berbicara seperti itu Danang meninggalkan kami bertiga. “Dia lagi mikir, kenapa angkatan muda Islam desa ini nggak jalan. Udah jangan semedi lagi”, kata Rizal. Aku menanggapinya dengan merenung dan sedikit berpikir. Aku harus berbuat sesuatu. Mungkin setelah urusan hati ini selesai. Beberapa menit kemudian Ayu, Riri, dan Nita datang. Mereka kaget bertemu aku dan mengajakku berbicara seadanya tapi hangat. Selanjutnya disusul Nurul, Siti, Alya datang secara bersamaan. Kebiasaan, pikirku. Lalu mereka dengan sangat membuatku kaget. Sikap mereka yang sok kenal denganku, yang sok dekat denganku muncul. Tapi aku menanggapinya dengan biasa saja. Aku tidak ingin sakit hati lagi. Tentu saja, Kak Ratna yang selalu ramah padaku juga datang memberikan semangat serta merancang kostum. Wajah-wajah ini sudah berbeda dari wajah-wajah yang aku lihat dulu. Mereka terlihat lebih dewasa dan selalu membawa telepon kemanapun pergi. Mereka juga sudah memakai berbagai kosmetik agar terlihat lebih cantik. Latihan pagi ini berjalan dengan aku tidak berbicara hal-hal kecuali Lafadz Takbir untuk latihan. Ketika istirahat pun aku duduk di tempat lain. Aku tak tahu bahwa dari kejauhan ada yang mengamatiku. Jika aku melihat wajah mereka, aku masih ingat perlakuan mereka tehadapku dulu. Sungguh menyakitkan. Akhirnya Zahra datang, ternyata dia menyapaku terlebih dahulu. “Eh, Nisa lama ya nggak ketemu, kok akhirnya mau ikut ini?’, dia mencoba menyapaku dengan ramah. “Iya nggak pa pa”, jawabku singkat dan tidak berkaitan. Bagaimana aku bisa menolak jika taktik yang kalian pasang sangat jitu, batinku bergejolak. Kak Ratna membuka latihan dengan mengatakan bahwa persiapan kita hanya satu minggu, itu untuk semua dari kostum, perlengkapan dan formasi. Padahal baru tahun ini desaku ikut pawai takbir. Aku pesimis. Tiga hari aku latihan, aku menghabiskannya dengan cara seperti ini. Suatu hari ketiga latihan, seperti biasanya aku datang paling awal, lalu bertemu Danang dan Wisnu di depan pintu setelah itu aku masuk melihat anak-anak kecil bermain bola di lapangan tenis. Aku duduk dipojok dan diam. Tiba-tiba saja Danang menghampiriku dan mengatakan “Kamu pendendam, kalau bisa buang itu pendendammu, itu nomor satu. Nomor dua, kamu itu terlalu memikirkan masalah yang lalu-lalu, jadinya kamu seperti ini, kesepian dan nggak ada teman. Kamu bilang hidup itu pilihan, tapi apa pilihan ini yang kamu pilih. Hatimu udah keras Nis, hati-hati. Penyakit hati nggak ada obatnya kecuali kamu sendiri. Ingat ini omonganku. ”, kata Danang jelas dan singkat. Kukira Danang sedang stress memikirkan muda-mudi desaku yang tidak tergerak, tapi mengapa dia jadi sekeras ini. “Hei, maksudnya apa kamu bilang kayak gini ke Aku?”, tanyaku. “Halah jangan sok nggak tahu deh, pikir sendiri, semuanya udah kelihat dengan dua kali kamu ikut latihan, kalau emang nggak ikhlas nggak usah ikut aja deh,” jawabnya ketus. Tak kusangka Danang berani berbicara seperti ini denganku. Aku langsung meninggalkannya dan kulihat Wisnu berdiri di pintu lapangan. Melihatku keluar dengan kesal. Aku ingin pulang tapi kakiku tidak membawaku ke rumah. Kakiku membawaku kepinggir sawah dan duduk melihat anak-anak yang tadi bermain bola di lapangan tenis pindah ke lahan yang kosong. Aku duduk dan merenung. Apakah aku memang seorang pendendam. Semakin kupikir semakin aku kesal dibuatnya. Tak kusangka sepuluh langkah di depanku Rizal sibuk dengan kameranya. Aku tak mau tahu dan menyembunyikan wajahku dipangkuanku. Tiba-tiba ada orang yang berbicara padaku. Wisnu. “Danang tidak bermaksud untuk menyakiti hatimu..”, sebelum kalimatnya berlanjut sudah kupotong. “Apa, kamu juga mau marahin aku juga?, kalau nggak niat juga aku nggak bakal ke sini, aku marah tahu nggak ngerti sendiri aku perlu mikir sepuluh kali buat nerima ini atau enggak, aku nggak mau sakit hati lagi kayak dulu.”, jawabku asal. “Bukan itu, kami hanya ingin melelehkan hatimu, agar hatimu tak menjadi keras dan menyimpan dendam.”, ujar Wisnu pelan. “Ragamu di sini tetapi hati dan ikhlasmu tidak semua di sini, terganjal juga sama orang-orang yang melukaimu di masa lalu, bukalah hatimu dan maafkanlah mereka Nis,”, lengkapnya. “Katamu hidup adalah tentang pilihan, maka ubahlah pilihanmu agar hatimu tak keras seperti ini,” lanjutnya. Aku diam, berfikir dan Wisnu meninggalkanku sendiri. Aku merenung di pagi hari yang ini, sekarang aku sadar bahwa hidup itu penuh nikmat yang harus dan wajib disyukuri. Mungkin aku mengenal Zahra, Alya, Siti dan Nurul agar aku belajar sakit hati. Aku mengenal Danang, Wisnu, dan Rizal untuk arti sebuah teman. Aku menegenal Ayu, Nita dan Riri untuk sebuah persahabatan yang tidak mengenal derajat sosial. Juga kak Ratna yang membuatku mengerti tentang kasih saying. Bukankah Allah sudah menempatkan semuanya seperti pada porsinya. “Aku mengerti apa yang harus aku lakukan”, ujarku tegas. Setelah perenungan yang panjang, aku kembali ke arena latihan dan tak kusangka-sangka Zahra dan Nurul menghampiriku. “Aku tahu aku salah di masa lalu, bolehkah kita mulai lagi dari awal?,” ucap Zahra tulus. Tentu saja. “Iya aku memaafkanmu dan mari kita mulai lagi dari awal,”. Aku bersalaman dengan mereka kali ini dengan tulus. Hari ini sungguh indah karena, aku sangat lega. Ada sesuatu pengganjal di hatiku ini yang sudah lepas dan hilang. Membuat aku menjadi pribadi yang baru dan hidupku terasa ringan, hanya dengan kata maaf dan memaafkan yang ikhlas. Aku jadi teringat tentang temanku Danang. Aku harus berbuat sesuatu untuknya. Aku berkoordinasi dengan Nurul dan Siti untuk mendatangi rumah-rumah pengurus muda-mudi. Aku meminta bantuan mereka untuk membuat perlengkapan seperti obor dan properti lainnya. Aku dan teman-temanku berjalan dari rumah ke rumah agar mereka dan kami dapat berkumpul menjadi satu dan menggerakkan kembali gerakan muda-mudi. Kami agak psimis sebenarnya, termasuk Aku. Aku sangat khawatir rencanaku ini akan gagal. Hari pembuatan properti pun tiba, tak kusangka semua datang dan ikut terlibat. Sunguh masjid begitu ramai dan mereka yang baru kembali bergabung pun ikut membantu pengumpulan zakat fitrah dan sebagainya. Aku senang sekali, baru pertama kali ini aku merasakan perasaan sebebas ini dan terus ikhlas bersyukur kepada Allah. Semua saling bantu membantu. Kami berharap kami bisa menang dalam pawai takbir kali ini. Bahkan, kami melatih formasi kami yang berjumlah enam dengan terus menerus. “Hmm, kamu tidak pernah berubah, masih keras tetapi berhati. Jadi inikah pilihanmu sekarang?”, tiba-tiba Danang berkata seperti itu padaku. “Tidak juga, haha tentang memilih. Aku tidak memilih, tetapi aku membuat keputusan”, jawabku singkat. Danang tersenyum, seperti biasa mereka bertiga selalu membuatku tidak bisa berkata apa-apa. Hari H pun tiba. Aku dan teman-temanku sungguh snagat gugup. Kami tampil semaksimal mungkin. Kami meneriakkan nama Allah dengan lantang dengan sebisa mungkin hingga suara kami serak. Kami berjalan dengan penuh rasa bahagia. Setelah lomba, kami menampilkan aksi terbaik kami ditengah-tengah desa untuk penampilan terakhir dan membuat warga senang. Rasanya begitu hangat, karena hati kami saling terkait. Bukan main-main, Allah lah yang telah mengikat hati kami menjadi erat. Beginilah rasanya memiliki teman. Beginilah rasanya perjuangan bersama teman-teman. Allahu Akbar ! Allahu Akbar ! Walillahilham. Gema takbir berkumandang malam ini, dan Aku meneriakkannya bersama dengan teman-teman lamaku yang bersatu kembali karena Allah. Menang ataupun kalah pada lombanya. Kami sudah menang, memenangkan hati kami. Jauh di dalam hati kami, untuk kebaikan yang lebih besar. Lagi pula hitam memang tidak bisa menjadi putih, akan tetapi masih banyak warna yang bisa ditambahkan agar hidup penuh warna. Tentu saja lebaranku kali ini sungguh sangat spesial. Jadi, nikmat Allah yang mana yang kamu dustakan?

 Penulis :
 Annisa Luthfia
 SMA Negeri 1 Klaten
 anlethanze@gmail.com

0 komentar:

Posting Komentar

Bagi Anda yang merasa blog nue bermanfaat mari likes dan jadi member :)

Channel Youtube : Kepo Media

Kepo Media. Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

About

Like dan Follow Anda Sangat Membantu Blog Ini ^_^

×

Recent Comments

Blogger news